Pages

Laskar Atas Angin

Jumat, 19 November 2010

Hadhrat Sultanul 'Arifin Syeikh Yazid Al-Busthami An-Naqsyabandi Quddisa Sirruh

Abu Yazid Al Busthami – Raja Para Mistik

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sulton Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh yang lain. Kakek Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham.

Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke sekolah untuk mempelajari Al Qur-an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “ijinkanlah aku pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang kerumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thoifur, mengapa engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa ?”. “Tidak” jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada engkau wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata”. “Anakku” jawab ibunya, “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.

Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku, itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata didalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi kesungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur”. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa kemudian mendo’akanku. Waktu itu terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu ?” ibuku bertanya. “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka”. Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”.

Abu Zayid melakukan disiplin diri dengan terus menerus dan berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Diantara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,”Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu”.”Jendela? Jendela yang mana?”, tanya Abu Yazid.”Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”"Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini”.”Jika demikian”, kata si guru,” kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai”.

Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Makkah (diartikan menghina kota Makkah), karena itu segera ia memutar langkahnya.”Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah”, Abu Yazid berkata mengenai guru tadi,”niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya”. Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu. Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, beberapa saat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.”Mengapa engkau selalu berlaku demikian ?” tanya salah seseorang kepadanya. “Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid”, jawabnya. (Lihatlah do’a Nabi Adam atau do’a Nabi Yunus a.s “Laa ilaha ila anta Subhanaka inni kuntum minadholimin”, Tidak ada tuhan melainkan engkau ya Allah, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang dholim. Atau lihat do’a Abunawas,’ Ya Allah kalau Engkau masukkan aku ke dalam sorga, rasanya tidaklah pantas aku berada di dalamnya. Tetapi kalau aku Engkau masukkan ke dalam neraka, aku tidak akan tahan, aku tidak akan kuat ya Allah, maka terimalah saja taubatku).

Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya.”Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!”, seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban”. Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada diatas punggung onta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut. “Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”, seru si pemuda.”Jika kusembunyikan kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku”, kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?”

MI’ROJ

Abu Yazid berkisah, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku. Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan cemar. Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemaha kuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.

Hiasilah diriku dengan ke-Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta mata, bukan diriku ini”. Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. Setelah itu, Dia berkata, “temuilah hamba-hamba-Ku itu”. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, “Tidak ada seorang manusiapun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini”. Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di telapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku, bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan. Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli ?.

Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehinga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad Rasulullah Saw. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad Rasulullah Saw. Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?” Maka terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad Saw. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya. Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku kedalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad Rasululah Saw. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad Rasulullah Saw. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata,” aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak beliau Saw.

Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir kepinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu. Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata,” Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja diantara kaum mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu ?” Abu Yazid menjawab,” Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, ‘Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?’. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi jalan kepadanya”.

Ada seorang pertapa di antara tokoh suci terkenal di Bustham yang mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau. Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “pada hari ini genap tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu”. “Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati”. “Mengapa demikian ?”, tanya si murid. “Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri”, jawab Abu Yazid. “Apakah yang harus kulakukan ?”, tanya si murid pula. “Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya”, jawab Abu Yazid. “Akan kuterima !. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan”. “Baiklah!”, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang dilehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,”Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku”. Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan”. “Maha besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah”, cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu. “Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah”. “Mengapa begitu ?”, tanya si murid. “Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah ?”. “Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain”, si murid keberatan. “Hanya itu yang dapat kusarankan”, Abu Yazid menegaskan. “Aku tak sanggup melaksanakannya”, si murid mengulangi kata-katanya. “Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku”, kata Abu Yazid. (Besi mesti dipanasi untuk dijadikan pedang, batu kotor mesti digosok supaya jadi berlian. “Gosoklah berlian imanmu dengan Laa illaha ilAllah”. ‘Jadidu Imanakum bi Laa illaha ilAllah’).

“Engkau dapat berjalan di atas air”, orang-orang berkata kepada Abu Yazid. “Sepotong kayupun dapat melakukan hal itu”, jawab Abu Yazid. “Engkau dapat terbang di angkasa”. “Seekor burung pun dapat melakukan itu”. “Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam”. ” Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam”. “Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati ?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada selain Allah Swt.

Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya,” Anakku, siapakah namamu ?” Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid,”Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku”. “Anakku”, Abu Yazid menjawab,”aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku”.

Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan hatiku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke-empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ini engkau memanggilku”, katanya,” hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?”"Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu,”Darimanakah engkau datang?” “Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan,”berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!”Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu. Menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena akupun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.

Minggu, 07 November 2010

Suluk Dewa Ruci

Ini merupakan cerita wayang Suluk Dewa Ruci, dengan menggambarkan perjalanan spiritual Bima juga yang dikenal dengan Brata Sena dan Werkudara yang berliku-liku, penuh hambatan dan tantangan, sampai akhirnya, Bima berhasil ketemu dengan Dewa Suksma Ruci atau biasanya disebut Dewa Ruci.

Disinilah Bima mendapatkan pencerahan rohani, ketemu dengan Suksma Sejati yang sebenarnya berada didalam diri Bima sendiri, tak pernah berpisah. Pertemuan Bima dengan Dewa Suksma Ruci adalah perlambang dari Manunggaling Kawulo Gusti, Manunggalnya Kawulo Gusti, hamba dengan Tuhan, dimana si anak manusia tentram bahagia dalam pengayoman cahaya keagungan Tuhan.

Mulai saat tersebut, Bima dengan pasti telah menggegam erat kehidupan sejati yang bagi kebanyakan orang masih saja merupakan teka-teki dan misteri. Laku spiritual Bima perlu dicermati, sebagai salah satu usaha batin yang efektif, untuk mendapatkan pencerahan.


Air Suci Prawitasari

Semua bermula ketika Bima disuruh oleh Guru Durna untuk menemukan Air Suci Prawitasari, supaya hidupnya benar-benar tentram bahagia.

Prawita dari pawita artinya bersih, suci; sari adalah inti. Jadi, Air Suci Prawitasari adalah inti dari Ngelmu Suci – The essence of divine spiritual knowledge.

Guru Durna menilai bahwa sudah saatnya Bima mendapatkan tataran ngelmu yang lebih tinggi. Menurut pengamatannya , Bima sampai saat ini telah berhasil menyelesaikan banyak tugas dalam bidang keduniawian, dia mampu karena pandai dan prigel dan dia punya budi luhur dan sikap mental yang baik.


Laku spiritual

Dalam usaha untuk menemukan Air Suci Prawitasari, dalam kisah wayang Dewa Ruci, Bima harus berjuang mati-matian seorang diri. Dibawah ini rintangan –rintangan yang harus disingkarkan :


Hutan Tikbrasara

Atas petunjuk gurunya, Bima menyeruak hutan lebat Tikbrasara yang seram dan banyak binatang buasnya. Bahaya yang dihadapi besar sekali, maut selalu menanti.

Sebenarnya Tikbrasa merupakan pralambang. Tikbra artinya prihatin; sara artinya tajam. Ini merupakan pelajaran untuk mencapai cipta yang tajam dan benar, dalam istilah spiritual umum adalah visualisasi yang tajam sehingga tujuan tercapai.


Gunung Reksamuka

Bima harus mendaki kepuncak gunung yang tinggi, melewati jalan terjal berkelok-kelok.. Dia berani menghadapi resiko apapun.

Ini juga pralambang, maksudnya harus mampu menjaga fokus pandangan mata. Pengalaman menjelajah hutan Tikbrasara dan mendaki gunung Reksamuka adalah merupakan pelajaran sikap dalam melakukan meditasi atau samadi.

Siapkan diri baik-baik sebelumnya dengan membersihkan raga dan jiwa ( istilahnya :sesuci). Bersikap santai, pasrah. Fokuskan pandangan mata kepuncak gunung, yaitu kepucuk hidung.Yang samadi, batinnya naik ketempat yang tinggi. Dalam istilah kebatinan Kejawen dikatakan : bagai mendaki Tursina. Tur artinya gunung; sina adalah tempat yang tinggi.


Mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala

Dihutan, Bima berhasil menaklukkan dua raksasa yang berwajah bengis menakutkan, yaitu Rukmuka dan Rukmakala.

Ini juga pralambang. Supaya meditasinya berhasil, kedua halangan besar itu harus disingkirkan.

Bagaimana bisa pasrah sumarah dalam samadi kalau pikiran ke Rukmuka artinya mau melahap makanan-makanan enak mewah yang sebenarnya ruk ( merusak) kesehatan tubuh dan pikiran.

Orang-orang tua suka memberi nasihat : Boleh makan secukupnya saja dan makanan yang sehat, diutamakan sayur dan buah. Kalau terlalu banyak makan lemak dan daging, selain tidak baik untuk kesehatan, juga tidak baik untuk spiritualitas.

Rukmakala adalah rukma( emas) yang kala ( membahayakan).Maksudnya , pikiran jangan maunya kekayaan materi yang melimpah melulu. Itu halangan untuk laku spiritualitas dan samadi.

Itulah kenapa, Bima harus mengalahkan Rukmuka dan Rukmakala.


Samudra dan Ular

Ternyata Air Suci Prawitasari tidak ada dihutan dan digunung.Bima yakin apa yang dicari ada didalam samudra.

Samudra mengingatkan kepada kata “samudra pangaksama” artinya punyailah hati yang lapang, jadilah orang yang pemaaf.

Bima meneruskan perjalanan dan tanpa ragu masuk ke samudra. Belum lama berada diair, Bima sudah mau diterkam seekor Ular Laut Raksasa. Bima bukan orang penakut, ular laut itu dihadapinya.

Ular disini melambangkan sifat-sifat jahat yang harus dilawan. Sesudah ular, yaitu sifat-sifat jahat berhasil disingkirkan, lalu sifat-sifat yang baik perlu dipertahankan dan dilakukan, antara lain :

Tidak iri kepada orang lain yang maju dan berhasil. Tidak susah yang berlebihan sewaktu kekayaannya berkurang ( bahasa Jawa : Rila).
Selau bersikap baik dan benar ( Legawa).
Menjalani kehidupan dengan rasa syukur dan dengan sadar. ( Nrima).
Rendah hati, sabar. Walau dijahati orang, tidak membalas, tidak dendam ( Anoraga).
Tahu dengan sadar yang salah dan yang benar. Ingat kepada yang sejati. ( Eling).
Tidak pernah bosan berbuat yang benar, antara lain untuk melakukan samadi.( Santosa).
Tentram hatinya, melupakan kesalahan masa lalu dan kerugian-kerugian yang pernah dialami diwaktu silam. ( Gembira).
Selalu berniat dan berbuat baik untuk kepentingan semua pihak ( Rahayu).
Menjaga kesehatan badan, raga dirawat supaya tetap sehat, dipergunakan untuk berkiprah positif .Kalau sakit dihusada/diobati.( Wilujeng).
Selalu belajar dan mempelajari ilmu dan ngelmu yang benar ( Marsudi kawruh).
Melakukan samadi rutin, teratur dan disetiap saat terpanggil.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari supaya bersikap ngurang-ngurangi, misalnya makan pada waktu sudah lapar, makannya tidak perlu banyak, secukupnya saja. Minum pada waktu haus dan tidak usah memilih minuman yang enak-enak. Tidur pada waktu sudah mengantuk, tidak perlu dikasur yang empuk dan mewah, yang sederhana saja asalkan bersih dan sehat.Jangan suka ngomong dibelakang dan menjelek-jelekkan orang lain.Selalu bersikap positif dalam menjalani hidup ini. Bercinta dalam batas takaran dan sebaiknya dengan pasangannya yang sah.


Bertemu Dewa Suksma Ruci

Sesudah Bima berhasil menyingkirkan semua hambatan, mendadak tanpa persiapan apapun , dia bertemu dengan Dewa mungil yang bercahaya terang tetapi tidak menyilaukan ,rupanya mirip benar dengan dirinya, namanya Dewa Suksma Ruci(sang Marbudyengrat).
Termangu sang Bima di tepian samudera, dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis, tak ada lagi tempat bertanya. Dewa Ruci, sang Marbudyengrat, memandangnya dengan iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta Pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun. menghampir Sang Dewa Ruci sambil menyapa: 'apa yang kau cari, hai Werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini di tempat sesunyi dan sekosong ini'
Terkejut sang Sena dan mencari ke kanan kiri setelah melihat sang penanya ia bergumam: 'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?

serba sunyi di sini, lanjut Sang Marbudyengrat mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya.
sang Sena semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. dan siapa sebenarnya diriku ini.
ketahuilah anakku, akulah yang disebut Dewa Ruci, atau sang Marbudyengrat yang tahu segalanya tentang dirimu anakku yang keturunan hyang Guru dari hyang Brahma, anak Kunti, keturunan Wisnu yang hanya beranak tiga, Yudistira, dirimu, dan Janaka. yang bersaudara dua lagi Nakula dan Sadewa dari ibunda Madrim si putri Mandraka. datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini.
bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya agar tidak mengalami kegelapan seperti ini terasa bagai keris tanpa sarungnya.
Sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup ingatlah pesanku ini senantiasa jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipnya. tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
Janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan.
Duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba bertindak tanpa tahu asal tujuan sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
Nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku. lanjut Sang Marbudyengrat.
Sang Sena tertegun tak percaya mendengarnya ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit kelingking pun tak akan mungkin muat.

wahai Werkudara si dungu anakku, sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
Mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika, dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci yang telah terangsur ke arahnya.
Heh, Werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana.
Hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena. alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang.
Janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya setelah hati kembali tenang tampaklah sang Dewa Ruci di jagad walikan.
Heh, Sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan! awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. apakah gerangan semua itu?

ketahuilah Werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya, penerang hati, yang disebut mukasipat, penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih. cahaya empat warna, itulah warna hati hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal, hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. hanya si putih-lah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam, namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi. hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma. adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
Duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna, ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.
Itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. sering disebut jagad agung jagad cilik dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku.

Semakin cerah rasa hati hamba. kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
Bukan, anakku yang dungu, bukan, berusahalah segera mampu membedakannya zat sejati yang kamu cari itu tak berbentuk tak terlihat, tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya. dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati, ialah yang merawat raga tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
Pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
Itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah sebelum hal itu dijelaskan.
kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
Itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda, di saat itulah sang suksma akan menghampirimu, dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
maka habislah wejangan sang dewaruci, sang Guru merangkul sang Bima dan membisikkan segala rahasia.
Rasa terang, bercahaya seketika wajah sang Sena menerima wahyu kebahagiaan bagaikan kuntum bunga yang telah mekar. menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta.



Dan... blassss . . . ! sudah keluarlah sang Bima dari raga Dewa Ruci sang Marbudyengrat kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang Dewa Ruci . sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.