Sabda Rasulullah Saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "ما كان الفاحش فى شئ الا شانه, وما كان الحياء فى شئ الا زانه" (رواه الترمذى وقال حديث حسن غريب, وابن ماجه)
Artinya:
Rasulullah Saw. bersabda: "Tidaklah keburukan ada pada sesuatu kecuali ia akan menjadikannya buruk. Dan tidaklah sifat malu ada pada sesuatu, kecuali ia akan menghiasinya". (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Di hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari, sebagaimana yang telah dishahihkan Syeikh Al-Albany dalam shahih al-jami' hal. 5531.
Malu (al-haya') adalah sebuah kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Hampir setiap hari kata ini tak pernah luput dari telinga kita. Namun adat pergaulan kita sebagai orang timur memberikan kesan, bahwa malu adalah identik dengan feminisme. Maka tidak heran jika seorang pria mengungkapkan kata malu, spontan temannya akan memberikan berbagai komentar, seperti: "kaya' cewek aja". Seakan-akan sikap malu hanya milik kaum hawa, dan kaum adam tidak berhak untuk menyentuhnya sedikit pun. Pertanyaannya sekarang adalah: benarkah sifat malu hanya milik wanita? Bagaimanakah malu menurut pandangan syari'at?
Definisi malu
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita kaji lebih dulu pertanyaan yang kedua (malu menurut syari'at). Secara terminologi malu berarti: infinitif (Mashdar) dari kata حيي dari الحياة . sedangkan menurut syara' , (salah satu maknanya): meninggalkan atau menahan diri dari suatu perkara dengan maksud menghindari celaan. Jika menulusuri khazanah fiqh baik yang klasik (turâts) ataupun yang kontemporer (mu'ashir), maka malu niscaya kita akan pada bab الأدب , مكارم الأخلاق , dan semisalnya. Sebab memang ia merupakan bagian dari akhlak mulia, yang termasuk salah satu muatan risalah Rasulullah Saw. Sebagaimana dalam sabdanya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".
Islam telah mengangkat martabat pribadi yang meiliki sifat ini, sebagaimana yang telah diabadikan dalam QS. Al-Qashash: 23-26, yakni peristiwa yang terjadi antara Nabi Musa As. Dengan putri Nabi Syuaib. Pada ayat 23 dikatakan, bahwa mereka tidak memberi minum kecuali setelah keadaan sepi, agar tidak berdesak-desakan dengan kaum lelaki. Sedangkan di ayat 25 menceritakan bagaimana salah seorang dari putri itu berjalan mendatangi nabi Musa As. (tamsyi alastihyâin). Selanjutnya Ayat 26 jelas menunjukan betapa sopannya ia dalam bertutur kata dan mengungkapkan sebuah perasaan. Dari kisah di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa putri nabi Syu'aib adalah anak yang terdidik; memiliki rasa malu yang sangat tinggi; berbudi pekerti yang luhur. Seperti yang kita lihat pada ayat-ayat di atas.
Begitupun dengan hadis Rasulullah Saw. yang tidak sedikit menggambarkan betapa tingginya derajat sifat malu dalam islam. Salah satunya adalah hadits yang mengawali bahasan ini. Dan riwayat lain:
عن ابن عمرقال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "الحياء من الايمان" (رواه مسلم و الترمذى)
عن عمران بن حصين قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "الحياء لا يأتى الابخير" (رواه البخارى ومسلم)
itu di antara riwayat tentang malu, dan masih banyak riwayat lain yang yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Derajat malu
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah membagi malu (al-haya') menjadi 10 macam:
- Hayaul Jinayah: seperti rasa malu Nabi Adam As. saat lari di surga;
- Hayaut Taqshir: seperti rasa malu para malaikat yang bertasbih siang dan malam tanpa henti-henti dan lelah;
- Hayaul Ijla;
- Hayaul Karam: seperti rasa malu Rasulullah Saw. Saat sekelompok kaum mengundang beliau ke walimah Zainab, kemudian mereka duduk sangat lama di acara tersebut, maka rasulullah berdiri namun beliau tetap malu untuk mengajak mereka pulang;
- Hayaul Hisymah: seperti rasa malu 'Ali bin Abi Thalib Ra. Untuk menanyakan masalah madzi pada Rasulullah Saw. karena keberadaan Fathimah putri beliau padanya;
- Hayaul Istihqar: seperti rasa malu seorang hamba saat berdoa pada Allah Swt. ;
- Hayaul Mahabbah: seperti rasa malu seseorang terhadap orang yang dicintainya;
- Hayaul Ubudiyah: yaitu rasa malu yang muncul dari rasa cinta dan rasa takut;
- Hayaus Syarafi wal Izah;
- Hayaul Mar'i min nafsihi: yaitu rasa malu seseorang yang sangat tinggi dan mulia, atas keridhaannya atas segala kekurangan yang ada pada dirinya.
Begitulah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi sifat malu tersebut. Dari sini dapat kita lihat, bahwa al-haya' mendapat kedudukan (makanah) yang sangat mulia dalam syari'at kita. Syariat tidak memuliakan al-haya' ini begitu saja, tentunya ia memiliki banyak keistimewaan, di antaranya:
- Al-Haya' miftah kullu khair, sebagaimana yang diriwayatkan 'Imran bin Hushain di atas, bahwa al-haya' itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan. Busyair bin Ka'b seorang tabi'in mengatakan: bahwa al-haya' itu termasuk ilmu hikmah, darinya muncul kelembutan, keteguhan serta ketenangan. Ibnu Qayyim mengatakan: Malu adalah akhlak yang paling utama dan paling mulia, paling besar kadarnya, paling banyak manfaatnya. Akan tetapi ia khusus bagi manusia. Maka barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu dalam dirinya, maka tidak memiliki apapun dari jiwa manusia kecuali daging dan tulang;
- Al-Haya' merupakan keistimewaan dan tabiat bagi manusia. Meskipun dalam penerapannya membutuhkan usaha yang gigih dan pengetahuan, namun ia juga harus didasari dengan niat yang ikhlas karena Allah. Apabila ia terlaksana dengan baik, niscaya ia akan menghindarkan manusia dari hal-hal yang tidak terpuji, yang membedakan antara manusia dan binatang.
- Al-Haya' bagian dari keimanan. Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-mustadrak. Dari Ibnu Umar Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: " (Keimanan dan rasa malu adalah satu bagian, satu dengan lainnya tak dapat dipisahkan)
(الحياء والايمان قرينا جميعا, فاذا رفع أحدهما رفع الأخر)
Menurut al-Hakim: hadits ini shahih 'ala syarthi Bukhari dan Muslim, dan dishahihkan juga oleh al-Albany. Dalam hadis yang lain, dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda bahwa: Al-Haya' itu bagian dari iman, dan iman itu tempatnya di surga. Sedangkan keburukan adalah kebalikan dari yang di atas, niscaya ia akan tertolak dan tempatnya adalah neraka. (HHSR. Ahmad dan Tirmidzi);
4. Al-Haya' adalah salah satu sifat Allah Swt. dalam sebuah riwayat dari Salman Ra. Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah Maha Pemalu. Dia sangat malu jika seorang hamba menengadahkan tangan padaNya, kemudian dibiarkan kosong tak mendapatkan apa-apa (tak dikabulkan)"
)ان الله حى كريم, يستحيى اذا رفع الرجل اليه أن يردهما صفرا خائبتين) (رواه أبوداود والترمذى)
Dan sekiranya muncul kemudian pertanyaan, bagaimanakah al-haya'nya Allah Swt? Imam Ibnu Qayyim mengatakan: Adapun al-haya' Allah Swt. Bagi hambanya, itu berbeda dengan al-haya' hambaNya, yang mana manusia tidak dapat memahami, dan akal pun tidak mampu untuk memikirkannya. Maka cukuplah kita untuk mengimaninya, tanpa harus mempertanyakan apa, seperti apa dan bagaimana?
Tak sedikit sahabat, sahabiyah dan orang–orang shaleh dari dulu sampai hari ini yang terkenal dengan keindahan akhlak, serta sifat al-haya' yang sangat tinggi. Sebut saja, misalnya, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, 'Aisyah binti Abu Bakar, Fathimah Az-Zahra, Ibnu Abi Huzail, Hisyam bin 'Ammar, dan lain sebagainya.
Dari keterangan di atas dapat kita ambil sebuah kesimpulan, bahwa al-haya' adalah merupakan bagian dari syari'at islamiyyah, dan ia bukan hanya milik kaum hawa. Hanya saja kita terkadang salah dalam menempatkan al-haya' ini, seperti malu dalam hal kebaikan, sesungguhnya itu bukanlah malu yang syar'i, tapi ia adalah kelemahan dan tipu daya setan. Bahkan menyebabkan kita menyembunyikan kebenaran dengan alasan malu, atau dengan kata lain, malu untuk beramar ma'ruf nahi mungkar. Begitu pula dengan rasa malu terhadap ilmu. Dalam shahih Bukhari, Mujahid Berkata: tidak akan mampu belajar seorang yang pemalu atau sombong (lih. Shahih Bukhari Bab. Haya' fil 'ilmi Jild. 1). Aisyah Ra. berkata: sebaik-baik perempuan adalah perempuan Anshar, (dimana) rasa malu tak mencegah mereka untuk belajar agama (tafaqquh fi ad-din).
DR. Fathimah Nashif mengatakan: sekiranya malu bagi pria itu indah, maka bagi wanita (tentu) akan lebih indah. Dan sekiranya malu bagi pria sebuah fadhilah, maka bagi wanita lebih afdhal. Sebab rasa malu telah menambah keindahan dan kecantikan dirinya. dengannya pula ia semakin dicintai dan disayangi. Maka kebaikan dan keburukan (akhlak) seorang wanita dapat diukur, dilihat dari rasa malu yang dimiliki.